Dari
ujung rambut sampai ujung kaki, masyarakat dunia zaman sekarang merasakan
pengaruh peradaban Barat yang diusung oleh arus globalisasi yang bermuara pada
pembaratan atau westernisasi. Pengaruh ini pun melekat dalam kehidupan
seharai-hari, seperti cara berpakaian, visi kenegaraan dan hubungan antar
bangsa, bahkan menghibur diri pun kini orang kebanyakan menggunakan cara dan
ukuran-ukuran kesenangan orang Barat. Barat memang sedang menjadi peradaban
yang dominan dan menjadi primadona masa kini. Sayangnya, tidak banyak orang
yang benar-benar tahu dan paham apa inti sebenarnya dari peradaban Barat itu.
Sepanjang
sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan. Namun
belum ada tantangan dan kekacauan yang lebih besar dan serius dari pada
kekacauan yang ditimbulkan oleh peradaban Barat seperti saat ini. Menurut Prof.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang pemikir dari Universitas Islam Malaysia
(UIM) yang dikenal cukup baik dalam dunia Barat dan Islam, memandang problem
terberat yang dihadapi manusia saat ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan
sekuler Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia.
Menurut
al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sebagai
teoritis belaka. Kebenaran absolut atau mutlak dinegasikan dan kebenarannya dan
nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada kepastian, konsekuensinya adalah
penegasian Tuhan dan akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang
berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya di Tuhankan dan Tuhan pun dimanusiakan.
Berbagai problem kemanusiaaan muncul sebagai wujud dari kacaunya nilai-nilai.
Yang perlu kita ketahui saat ini adalah bagaimana kita menghadapi berbagai
problema umat manusia, kita haruslah bersatu dalam visi dan misi serta aksi.
Sebenarnya,
mempelajari peradaban Barat tak ubahnya dengan mengupas bawang Bombai, satu
persatu siungnya di kupas dari luar, namun secara pasti menuju inti yang
sebenarnya tidak ada apa-apanya. Dari lapisan luar sampai lapisan terdalam,
peradaban Barat bagaikan bawang Bombai yang melulu kulit sampai kepusat. Secara
umum, kajian tentang Barat (oksidentalisme) yang dilakukan oleh bangsa
non-Barat memiliki karakteristik dan ciri-ciri yang berbeda dengan kajian
tentang Timur (orientalisme) yang dilakukan bangsa Barat. Setidaknya ada
beberapa hal sebagai berikut :
1. Orang Barat yang
datang dan belajar tentang Timur akan menghasilkan karya-karya ilmiah yang
detail tentang aspek-aspek peradaban Timur. Sedangkan orang Timur yang datang
ke Barat kebanyakan akan menghasilkan karya ilmiah yang detail tentang
aspek-aspek peradabannya sendiri dengan framework peradaban Barat.
2. Orang Barat yang
datang ke Timur untuk belajar, akan menghasilkan pandangan-pandangan yang
kritis tentang aspek-aspek peradaban Timur. Bukan itu saja, pandangan kritis
tersebut digunakan untuk sebagai alat oleh Barat dalam mengambil keputusan agar
Barat lebih dalam dan luas lagi mempengaruhi hajat hidup orang-orang Timur.
Sedangkan orang Timur yang belajar ke Barat kebanyakan menghasilkan
pandangan-pandanga kritis tentang peradabannya sendiri dan malah ikut Barat
mengubah aspek-aspek peradaban Timur sesuai arus dari arah Barat.
3. Orang Barat yang
datang dan belajar di Timur sedikit banyak menyerap kebiasaan hidup orang-orang
Timur hanya sebagai pleasure atau kesenangan saja. Namun sebagian aspek
kepribadiannya tetaplah Barat. Sedangkan orang Timur yang belajar ke Barat,
tidak sedikit menyerap kebiasaan hidup orang Barat sebagai character building,
pembangunan kepribadian yang dianggapnya menuju ke arah yang lebih baik atau
positif. Makan tetap tempe namun pemikiran lebih suka kebarat-baratan.
Sejak sekitar 20
tahun lalu, dunia pemikiran Islam di Indonesia sebenarnya mulai memasuki babak
atau wajah baru menyusul membanjirnya arus dan pola pemikiran Barat dalam studi
keIslaman (Islamic studies). Banyak terdapat perguruan tinggi Islam maupun
Kristen di tanah air yang menawarkan program religius atau Islamic studies ala
Barat. Sekitar dua dekade lalu, banyak sarjana muslim yang berbondong-bondong
pergi ke Barat untuk belajar tentang Islam dengan orientalis. Dan pulang dengan
mempromosikan pemikiran-pemikiran serta gagasan-gagasan dan metodologi
pengajaran Islam ala Barat.
Menurut prof.
Mastuhu, “Jika diamati secara mendalam, studi keIslaman di IAIN dan di tanah
air pada umumnya masih banyak didominasi oleh pendekatan normatif (dogmatis)
dan kurang wawasan empiris-historis.” Karena itu, menurut para penyokong metode
Barat, mempelajarai dan menguasai gagasan para pemikir Barat merupakan suatu
“keharusan.”
Masalahnya, tentu bukan hanya belajar, bukan sekedar ajang transfer ilmu belaka lalu selesai begitu saja. Tetapi, sejauh mana para sarjana muslim mampu menyadari berbagai konsekuensi dari alih metodologi dan impor pemikiran itu, terutama dalam masalah yang dalam tradisi sudah mapan (tsawabit -yang oleh Arkoun disebut unthinkable, seperti masalah akidah, otentitas al-Quran, kehujahan hadist Nabi dan sebagainya.) Suatu ide atau teori tidaklah muncul begitu saja, tanpa sejumlah asumsi dan presuposisi. Demikian pula gagasan pemikiran tentunya tidak akan lepas dari konteks peradaban dimana teori itu dilahirkan.
Tanpa menafikan hal-hal yang sifatnya universal dalam setiap pemikiran, tidak dapat dinafikan sama sekali adanya perbedaan-perbadaan prinsipil yang melandasi dan melatarbelakangi suatu gagasan. Sekularisme dan liberalisme yang lahir dari rahim peradaban Barat tidak lepas dari problema sejarah dan keagamaan Kristen di Barat. Jika di telaah secara lebih cermat, ada perbedaan mendasar dan fundamental antara Islam dan Kristen, baik dari segi teologis maupun historisnya. Karena itu, seyogyanya kaum muslim bisa mengambil sesuatu yang bermanfaat dari Barat tanpa harus merubah dan menghancurkamn fondasi bangunan Islam. Tidak perlu mengikuti tradisi kaum pemikir yang telah kecewa dengan doktrin dan sejarah agamanya sendiri, lalu mengaplikasikan metodologi sekuler-liberal dalam memahami Islam.
Masalahnya, tentu bukan hanya belajar, bukan sekedar ajang transfer ilmu belaka lalu selesai begitu saja. Tetapi, sejauh mana para sarjana muslim mampu menyadari berbagai konsekuensi dari alih metodologi dan impor pemikiran itu, terutama dalam masalah yang dalam tradisi sudah mapan (tsawabit -yang oleh Arkoun disebut unthinkable, seperti masalah akidah, otentitas al-Quran, kehujahan hadist Nabi dan sebagainya.) Suatu ide atau teori tidaklah muncul begitu saja, tanpa sejumlah asumsi dan presuposisi. Demikian pula gagasan pemikiran tentunya tidak akan lepas dari konteks peradaban dimana teori itu dilahirkan.
Tanpa menafikan hal-hal yang sifatnya universal dalam setiap pemikiran, tidak dapat dinafikan sama sekali adanya perbedaan-perbadaan prinsipil yang melandasi dan melatarbelakangi suatu gagasan. Sekularisme dan liberalisme yang lahir dari rahim peradaban Barat tidak lepas dari problema sejarah dan keagamaan Kristen di Barat. Jika di telaah secara lebih cermat, ada perbedaan mendasar dan fundamental antara Islam dan Kristen, baik dari segi teologis maupun historisnya. Karena itu, seyogyanya kaum muslim bisa mengambil sesuatu yang bermanfaat dari Barat tanpa harus merubah dan menghancurkamn fondasi bangunan Islam. Tidak perlu mengikuti tradisi kaum pemikir yang telah kecewa dengan doktrin dan sejarah agamanya sendiri, lalu mengaplikasikan metodologi sekuler-liberal dalam memahami Islam.
Tentu saja harus di
akui, Barat memang memiliki berbagai keunggulan dalam studi Islam, karena
mereka telah menyiapkannya dengan sungguh-sungguh selama ratusan tahun.
Literatur-literatur keislaman berhasil mereka himpun dengan baik, sarjana dan
pakar-pakar keislaman pun mereka miliki. Dengan keunggulan ekonomi, mereka juga
memberikan fasilatas belajar yang wah kepada banyak sarjana muslim diseluruh
dunia Islam. Maka tidak heran jika setiap tahun kita melihat sarjana muslim
datang ke Barat untuk belajar tentang Islam kepada sarjana-sarjana Yahudi dan
Kristen. Sementara itu, hampir tidak ditemukan ada sarjana Yahudi-Kristen yang
belajar tentang agama mereka kepada para sarjana muslim.
Belajar kepada siapa saja sejatinya tidak ada masalah, yang terpenting adalah kita harus memahami mana emas dan mana besi karat, mana shampoo dan mana oli. Untuk memahami ini semua tentunya harus dengan persiapan yang matang. Karena untuk menjadi muslim yang berkualitas mutlak diperlukan pemahaman terhadap Islam dan kajian tentang Barat. Karena hegemoni Barat dalam studi keislaman di berbagai perguruan tinggi di Inonesia merupakan hal yang mencengangkan. Paham pluralisme dan metode hermeneutika dalam tafsir al-Quran, liberalisme moral dan sebagainya sudah menyebar layaknya virus ganas atau penyakit menular dan dipelajari di pondok pesantren dan perguruan-perguran tinggi di Indonesia.
Pemerhati non-muslim dan seluruh lapisan umat Islam yang befikir, tetunya bertanya-tanya : Kenapa agama Islam dan umatnya menjadi sasaran yang bertubi-tubi kolinialisme dan kritikan Barat di sebanding dengan agama dan umat lain dalam sejarah umat manusia ? Tidak terdapat kritikan Barat yang bertubi-tubi dan massif selama ratusan tahun kepada Gautama Buddha, Kung Fu Tse, atau Lao Tse berbanding kritikan yang dilemparkan terhadap pribadi dan ajaran Muhammad saw. Hal tersebut terjadi setidaknya ada beberapa hal berikut ini :
1. Kebangkita Islam diatas pentas sejarah telah menantang dakwaan Kristen sebagai agama yang universal untuk seluruh umat manusia.
Belajar kepada siapa saja sejatinya tidak ada masalah, yang terpenting adalah kita harus memahami mana emas dan mana besi karat, mana shampoo dan mana oli. Untuk memahami ini semua tentunya harus dengan persiapan yang matang. Karena untuk menjadi muslim yang berkualitas mutlak diperlukan pemahaman terhadap Islam dan kajian tentang Barat. Karena hegemoni Barat dalam studi keislaman di berbagai perguruan tinggi di Inonesia merupakan hal yang mencengangkan. Paham pluralisme dan metode hermeneutika dalam tafsir al-Quran, liberalisme moral dan sebagainya sudah menyebar layaknya virus ganas atau penyakit menular dan dipelajari di pondok pesantren dan perguruan-perguran tinggi di Indonesia.
Pemerhati non-muslim dan seluruh lapisan umat Islam yang befikir, tetunya bertanya-tanya : Kenapa agama Islam dan umatnya menjadi sasaran yang bertubi-tubi kolinialisme dan kritikan Barat di sebanding dengan agama dan umat lain dalam sejarah umat manusia ? Tidak terdapat kritikan Barat yang bertubi-tubi dan massif selama ratusan tahun kepada Gautama Buddha, Kung Fu Tse, atau Lao Tse berbanding kritikan yang dilemparkan terhadap pribadi dan ajaran Muhammad saw. Hal tersebut terjadi setidaknya ada beberapa hal berikut ini :
1. Kebangkita Islam diatas pentas sejarah telah menantang dakwaan Kristen sebagai agama yang universal untuk seluruh umat manusia.
2. Sejak awal,
al-Quran memang telah menentang dasar-dasar keimanan Kristen dan menolak bahwa
Allah bisa beranak dan diperanakkan serta hakikat nabi Isa dan ibunya, Maryam.
3. Al-Quran juga telah mengisahkan dengan jelas sikap dan prilaku ketua agama-agam Yahudi dalam menyelewengkan ajaran-ajaran para anbiya dari Bani Israel.
3. Al-Quran juga telah mengisahkan dengan jelas sikap dan prilaku ketua agama-agam Yahudi dalam menyelewengkan ajaran-ajaran para anbiya dari Bani Israel.
4. Islam telah
mengubah tubuh dan jiwa orang-orang Barat secara revolusioner dalam
bidang-bidang linguistik, sosial, kebudayaan, keilmuan dan ekonomi.
5. Perluasan pengaruh
Islam serta tanah taklukannya keseluruh Timur Tengah termasuk kawasan yang
dahulunya adalah kekuasaan kerajaan Binzantium, India dan Afrika dalam waktu
yang begitu singkat. Dan selama lima abad mengusasi lalu berdagangan laut
Mediterania dan India
6. Islam berpotensi
untuk bangkit seperti semula berdasarkan konsep tajdidnya dan mampu menantang
hegemoni kebudayaan Barat di masa mendatang.
Bagaimana Meruntuhkan
Bangunan Islam ?
Peradaban Barat
sejatinya merupakan merupakan ramuan dari unsur-unsur Yunani kuno, Kristen dan
tradisi Paganisme Eropa. Meskipun Barat telah menjadi sekuler-liberal namun
sentimen keagaman kristen masih melekat erat dalam tubuh Barat dan mewarnai
kehidupan mereka. Bila dalam kolonialisme klasik mereka mengusung jargon,
“Gold, Gospel dan Glory” sekarang pun semboyan itu tidak berubah dalam beberapa
hal. Jika kita teliti secara mendalam, serbuaan AS ke Irak pada tahun 2003
serta dukungannya yang massif terhadap Israel tentunya tidak lepas dari
pengaruh serta unsur-unsur “gold, gospel dan glory.” Meski berbeda dalam banyak
hal, unsur-unsur Barat sekuler-liberal kadang bisa bertemu dengan kepentingan
“misi Kristen” atau “sentimen Kristen.”
Dimasa klasik dulu,
seorang misionaris legendaries Henry Martin menyatakan, “Saya datang menemui
umat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan pasukan
tapi dengan akal sehat, tidak dengan kebencian tapi dengan cinta.” Dia juga
berpendapat bahwa perang Salib telah gagal. Karena itu untuk menaklukkan dunia
Islam, ia menawarkann resep manjur yaitu dengan, “kata, logika dan cinta.” Dan
bukan kekuatan senjata atau kekerasan.
Misionarais lainnya Reimond Lull juga menyatakan hal senada, “Kulihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci di seberang lautan; dan ku pikir mereka akan merebutnya dengan kekuatan senjata; tapi akhirnya semua hancur sebelum mereka mendapatkan apa yang tedinya ingin mereka rebut.” Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris editor, “church missionary society”, tidak ada figur yang sehebat Reymond Lull. Lull kata Stock, adalah missionaris pertama bahklan terhebat bagi kaum Mohammedans”. Itulah resep Lull: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan “darah dan air mata,” tetapi dengan “cinta kasih dan doa.”
Kekuatan kata yang di padu dengan kasih seperti ungkapan Henry Martin sangat ampuh dalm menaklukkan hati umat Islam. Konon orang Jawa -sebagaimana huruf Jawa- akan mati jika “dipangku”. Jika seorang dibiayai, dibantu, diberi perhatian (kasih) maka akan luluh hatinya, pendapatnya akan goyah, tapi hal ini tidak selalu. Simaklah keyakinan dan pemikiran Ahmad Wahab dan Nur Cholish Madjid yang sengat mudah sekali berubah. Simaklah bagaimana kekuatan ide freedom dan liberalism mampu menggulung sebuah imperium besar Turki Utsmani.
Misionarais lainnya Reimond Lull juga menyatakan hal senada, “Kulihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci di seberang lautan; dan ku pikir mereka akan merebutnya dengan kekuatan senjata; tapi akhirnya semua hancur sebelum mereka mendapatkan apa yang tedinya ingin mereka rebut.” Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris editor, “church missionary society”, tidak ada figur yang sehebat Reymond Lull. Lull kata Stock, adalah missionaris pertama bahklan terhebat bagi kaum Mohammedans”. Itulah resep Lull: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan “darah dan air mata,” tetapi dengan “cinta kasih dan doa.”
Kekuatan kata yang di padu dengan kasih seperti ungkapan Henry Martin sangat ampuh dalm menaklukkan hati umat Islam. Konon orang Jawa -sebagaimana huruf Jawa- akan mati jika “dipangku”. Jika seorang dibiayai, dibantu, diberi perhatian (kasih) maka akan luluh hatinya, pendapatnya akan goyah, tapi hal ini tidak selalu. Simaklah keyakinan dan pemikiran Ahmad Wahab dan Nur Cholish Madjid yang sengat mudah sekali berubah. Simaklah bagaimana kekuatan ide freedom dan liberalism mampu menggulung sebuah imperium besar Turki Utsmani.
Ketika kaum muslimin
tidak memahami Islam dengan baik, tidak meyakini Islam dan minder terhadap
peradaban Barat yang megah, maka yang terjadi kemudian adalah imitasi terhadap
peradaban Barat yang dikaguminya. Abdullah Cavdet, seorang tokoh gerakan Turki
muda menyatakan, “ Yang ada hanya satu peradaban dan itu adalah peradaban
Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya
maupun durinya sekaligus.”
Sekularisme dan liberalism di Barat telah memukau banyak umat manusia. Gerakan pembebasan atau liberation movement di berbagai dunia mendapat inspirasi dari dua peristiwa besar, yaitu “revolusi Perancis” dan “kemerdekaan AS.” Dibawah jargon liberty, equality and fraternity ini jutaan orang tertarik untuk melakukan apa yang disebut sebagai “Kemerdekaan abadi semua bangsa dari tirani politik dan agama.” Dalam konteks Utsmani ketika itu, Sultan Abdul Hamid II di posisikan sebagai kekuatan tiran.
Sekularisme dan liberalism di Barat telah memukau banyak umat manusia. Gerakan pembebasan atau liberation movement di berbagai dunia mendapat inspirasi dari dua peristiwa besar, yaitu “revolusi Perancis” dan “kemerdekaan AS.” Dibawah jargon liberty, equality and fraternity ini jutaan orang tertarik untuk melakukan apa yang disebut sebagai “Kemerdekaan abadi semua bangsa dari tirani politik dan agama.” Dalam konteks Utsmani ketika itu, Sultan Abdul Hamid II di posisikan sebagai kekuatan tiran.
Kekuatan kata dan
kasih telah terbukti ampuh dalam menaklukkan hati umat Islam, yang biasanya
disimbolkan dengan ungkapan kurang bersahabat atau simpatik, seperti “ortodoks,
beku dan berorientasi masa lalu, emosional”. Sejarah menunjukkan kalaborasi
cendikiawan Turki, Kristen Eropa dan Zionis Yahudi berhasil menggulung imperium
Turki Utsmani. Ironisnya, dua dari empat orang yang menyerahkan surat pemecatan
atas sultan Abdul Hamid II pada 1909 adalah non-muslim. Salah satunya adalah
Emmanuel Karasu seorang tokoh Yahudi.
Sebagai penutup, kita
harus meyakini dengan ilmu bahwa Islam benar-benar agama yang benar dan
pandangan hidup yang memiliki sejarah peradaban yang gemilang. “Untuk
mempertahankan dan mengembangkan peradaban Islam tidak berarti menolak
mentah-mentah masuknya unsur-unsur peradaban asing. Sebaliknya untuk bersikap
adil terhadap peradaban lain tidak berarti permisif terhadap masuknya segala
macam unsur dari peradaban lain tanpa proses adaptasi.”
Demikian paparan Hamid
Fahmi Zarkasyi, direktur INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought
and Civilization). Dua kalimat terakhir dalam pernyataan Hamid tersebut perlu
sekali digaris bawahi. Bahwa sejak lahirnya, Islam tidak pernah menolak untuk
berinteraksi dengan peradaban lain. Ketika itu, dimasa-masa embrionalnya, Islam
telah hidup berdampingan dengan dua peradaban besar yaitu Romawi dan Persia,
namun Islam sama sekali tidak minder dan gentar. Secara keilmuan telah
terbukti, para cendikiawan muslim mampu menyerap berbagai khazanah keilmuan
asing, melalui proses adopsi dan adaptasi yang sebenarnya adalah merupakan
proses Islamisasi sains. Proses menolak “radd” dan menetapkan “itsbat” praktis
berlangsung dan berkembang dengan baik. hingga peradaban Islam berkembang dan
meraih nilai gemilang dimata dunia selama retusan tahun dengan proses semacam
itu.
Namun kini, persoalan
menjadi lain. Disamping hegemoni Barat yang sangat kuat, tradisi keilmuan
dikalangan umat Islam pun menurun. Banyak tokoh muslim yang berfikir denga
jalan pintas bahwa keagungan Islam akan bisa dicapai apabila kekuasaan politik
mereka pegang. Politik, ekonomi, informasi adalah sector-sektor yang sangat
penting yang harus dikuasai, namun hal itu tidaklah lepas dan harus berbasis pada
keilmuan yang tinggi. Tradisi keilmuanlah yang mampu membangkitkan suatu
peradaban. Mongol dapat mengalahkan Islam di Baghdad dan sekitarnya. Tetapi
peradaban yang rendah itu akhirnya jusru terserap oleh peradaban Islam. Maka,
jika kita berbicara masalah peradaban maka tidak lain yang harus menjadi
perhatian utama adalah faktor ilmu atau tradisi keilmuan yang harus dibangun
dikalangan muslim.
Ironisnya, justru
dalam kajian keIslaman, tradisi keilmuan ini tidaklah berkembang dengan baik.
Bahkan hampir tidak ada perhatian serius dari kalangan muslim Indonesia
khususnya untuk melahirkan cendikiawan-cendikiawan yang unggul yang menguasai
wacana Islam dan Barat secara komprehensif. Belum ada satu pun perguruan tinggi
Islam di Indonesia yang memiliki visi membangan perpustakaan yang lengkap
dengan kualitas tinggi seperti yang di miliki Kristen dan yahudi di Barat.
Pendidikan pun masih dijalankan dengan pola masal, mengejar target banyaknya
mahasiswa dan sarjana yang dihasilkan tanpa terlalu menekankan pada aspek
kualitas.
Kita tentunya
prihatin dengan meruaknya hegemoni Barat dalam bidang keilmuan dan kajian
keIslaman. Pemikiran, metodologi dan peradaban Barat di jiplak begitu saja
tanpa filterisasi dan daya kritis yang berarti. Betapa ironinya, selama ratusan
tahun kita dijajah Belanda, hampir tidak ada kalangan ulama dan cendikiawan
Muslim yang menghujat al-Quran dan menyatakan semua agama itu sama dan semuanya
menuju kearah kebenaran dan keselamatan. Menggemanya paham pluralisme agama,
penggunaan metode Hermeneutika terhadap tafsir al-Quran dan sebagainya, justru
terjadi dan diserap begitu mudahnya pasca kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mendasar
dalam Islam pun dibongkar, didekonstruksi tanpa memikirkan dampaknya dengan
seksama. Yang lebih merisaukan lagi adalah kesiapan kaum muslim yang masih
sangat minim untuk menghadapai zaman baru berupa “perang intelektual.” Bahkan
tidak sedikit cendikiawan yang menganggap enteng, seolah-olah tidak terjadi apa-apa
dengan pemikiran Islam.
Mungkin banyak yang
tidak sependapat denga tulisan ini, perbedaan pendapat kadang bisa dijembatani
dan terkadang juga tidak bisa di temukan titik temunya. Karena manusia meyakini
jalan hidup dan pikirannya masing-masing. Jika telah begitu, maka kita serahkan
kepada Allah swt. Untuk membuktikan kebobrokan komunisme orang harus menunggu
hampir satu abad. Mungkin untuk beberapa kasus, kebenaran akan tampak di
akherat kelak. Perdebatan Rosulullah saw. dengan delegasi Kristen Najran harus
berakhir dengan mubahalah yang akhirnya ditolak oleh delegasi Kristen.
Terkadang, melihat
besarnya problema yang dihadapi kaum muslim dunia umumnya dan Indonesia
khususnya serta minimnya persiapan kaum muslim untuk menghadapinya, masa depan
pemikiran Islam Indonesia memang patut dikhawatirkan. Namun Allah mengingatkan
agar kita tidak perlu merisaukan orang-orang yang berlomba-lomba menuju
kekufuran (Ali Imron: 176). Tugas kaum muslim sudah jelas yaitu memberi
peringatan, memberi penjelasan dan berusaha menunjukkan mana yang hak dan yang
batil, masing-masing manusia akan dimintai pertanggungjawabaan atas amalnya
sendiri-sendiri kelak di hari penghisaban.
Wallahu A’lam Bisshowab…
Wallahu A’lam Bisshowab…
Mahasiswa Semester IV
(Empat)
Asal Lubuk Linggau
Sum-Sel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar