Senin, 11 Maret 2013

Hubungan Sains dengan Agama

Al-Qardlawi menyatakan bahwa akal dan panca indera dianggap sebagai wahana terpenting yang dapat membantu manusia menciptakan peradaban dibumi dan melaksanakan tugas kekhalifahan sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Kata kunci dari perkataaan Qardlawi tersebut adalah akal, panca indera, peradaban dan kekhalifahan manusia. Gabungannya bermuara kepada ilmu pengetahuan dan sains, baik dari segi ontologi, epistimologi maupun aksiolginya. Ontologi berkaitan dengan kajian tentang apa yang menjadi objek ilmu pengetahuan dan sains. Epistimologi berkaitan dengan kajian tentang tata cara memperoleh ilmu pengetahuan dan sains itu. Dan aksiolgi bekaitan dengan perihal penerapan keduanya dalam bentuk kehidupan manusia yang nyata.
Setelah melihat berbagai dampak buruk dari negara-negara maju, maka munculah berbagai diskusi meluas dan tajam tentang hubungan antara agama dengan sains. Sebagai contoh adalah tentang lingkungan hidup. Kita banyak melihat sumber-sumber air menyusut, bencana alam terjadi dimana-mana, polusi udara dan tanah banyak sekali terjadi di perkotaan dan kini mulai dirasakan didesa-desa, berbagai penyakit datang menyerang manusia dan hewan. Karena kerusakan lingkungan inilah, stabilitas mata pencaharian penduduk menjadi terganggu. Disitulah timbul dilema. Disatu sisi sains dan teknlogi mendorong kemajuan peradaban, disisi lain kelemahan pengendalian keduanya berdampak buruk bagi alam atau lingkungan hidup dan manusia itu sendiri.
Berkaitan dengan dilema itu, Alwi Sihab mengangkat kesetaraan kerusakan lingkungan hidup manusia dengan krisis spiritualitas. Contoh yang diajukannya adalah hasil dari pemikiran Graham Parkes dari universitas Hawai India, yang memfokuskan penelitiannya pada hubungan kebudayaan manusia dengan alam lingkungan dimana mereka berdomisili. Parkes mengemukakan teorinya bahwa pandangan keagamaan seseorang atau suatu masyarakat sangat berpengaruh dalam menentukan sikap dan prilaku terhadap alam dan lingkungan sekitarnya.
Kerusakan alam dan lingkungan hidup, kata Parkes dipicu oleh penggunaan teknologi secara massif, Parkes menunjuk kegagalan agama dan budaya Barat dalam membentuk sikap atau prilaku bersahabat kepada alam. Dengan asumsi itu, ia mengajak para ilmuan, budayawan, dan pakar studi agama-agama untuk berpaling dari ideologi dan agama Barat kepada idelogi Timur, terutama sekali Buddhisme, Taoisme, Konfusianisme dan Shinto.
Masih menurus Shihab, ajaran-ajaran Buddhisme, Taoisme, Konfusianisme dan Shinto memang bermuatkan ajaran akan keramahan pada alam dan lingkungan, akan tetapi persoalan lingkungan hidup di Jepang dan Cina menunjukkan kenyataan sebaliknya dari ajaran yang ada dikalangan bangsa-bangsa itu. Teluk Minamata di Jepang tercemar oleh limbah industri, Dan juga gunung Fuji yang elok ditumpuki sampah disisi dan sekitarnya. Laporan Lester Ross memuat prestasi pengelolaan lingkungan hidup di Cina juga tidak menggembirakan. Kedua bangsa itu saat ini sedang berjuang keras mengatasi dampak buruk dari industriya untuk memulihkan kelestarian alamnya. Hal itu kata Shihab, menegaskan adanya faktor lain selain pandangan agama, yang berpengaruh pada perlakuan kepada lingkungan hidup, yaitu : budaya sekular dan mentalitas pencerahan yang menjalar bagai api kemana-mana.
Paparan Ali Shihab bila ditelisik lebih dalam maka akan tampak asumsi bahwa agama merupakan sesuatu hal dan sains adalah hal lain, masing-masing berdiri sendiri atau independen dan tidak saling berkaitan. Apa yang ditimbulkan sebagai akibat dari penerapan teknologi-sebagai hasil dari eksplorasi sains- maka tidak dapat dialamatkan kepada agama dan penganutnya untuk menanggung resiko atau bertanggung jawab mengatasinya. Shihab menekankan tipologi independensi agama dan independensi sains dalam melihat agama dan sains itu.
Menurut Zainal Abidin tentang Tipologi menurutnya, diskusi kontemporer tentang hubungan antara sains dan agama. Hubungan sains dan agama menemukan konteksnya pada fakta bahwa sains modern masuk kewilayah muslim melalui kolonialisme Barat, yaitu sekaligus menjadi penanda kekalahan peradaban Muslim. Sejak abad ke-19, sikap-sikap yang diambil mengenai sains dan Islam selalu terkait dengan fakta kolonisasi itu.
Dalam pembahasan-pembahasan kolonialisme tidak selalu disebut, tetapi bahwa sains berkembang secara tidak menggembirakan didunia muslim juga merupakan fakta lain yang mengkondisikan respon muslim tererhadapa sains. Meski kolonialisasi telah lama berlalu dari dunia muslim, akan tetapi masih ada kekhawatiran dikalangan sebagian muslim akan adanya “kolonialisasi epistimologi” melalui sains modern. Ringkasnya, secara terang-terangan atau tersirat, tanggapan muslim tampaknya tidak bisa lepas dari situasi sosial-politik-ekonomi pasca kolonialisme itu.
Ini tampak jelas dalam menggambaran Perez Hodbhy (1992), seorang fisikawan asal Pakistan. Dia membagi respon muslim yang secara langsung memengaruhi tanggapan terhadap sains modern kedalam tiga kelmpok.
Pertama, kaum restorationist, yang mengembangkan kemajuan peradaban Islam dimasa lalu dan ingin mengembalikannya dimasa ini (retore). Caranya bisa bermacam-macam: mulai dengan penekanan pada pembahasan apologetik mengenai kejayaan sejarah masa lalu sampai kritik keras terhadap sains modern yang dianggap sekuler dan tidak dapat diterima sama sekali..
Kedua, kaum rekonstuktionis, yang sama sekali tidak anti sains modern bahkan ingin mengakomodasikan nasinalisme sains. Ini bisa mengambil bentuk al-Quran setelah ditafsirkan (dan kerap sekai disalah tafsirkan) disana-sini. Atau merasionalisasikan telogi Islam, seperti yang dilakukan oleh Sir Syed Ahmad Khan di abad ke-19.
Ketiga kaum pragmatis, sains diterima secara pragmatis demikian pula agama-agama dimanfaatkan jika bisa memenuhi tujun keras kelompok yang disebutnya fundamentalis, yaitu para pemikir yang mengajukan gagasan “Sains Islam”, seperti Zia’uddin Sardar, Sayyed Hossein Nasr dan juga Maurice Bucaille, yang terkenal dengan upayanya menunjukkan kesesuaian al-Quran (dan ketidaksesuaian Bible) dengan temuan-temuan ilmiah.
Profesor Machasin menunjukkan adanya tiga sikap kalangan muslim terhadap sains, yaitu penolakan, penerimaan dan kehati-hatian.
Pertama, penolakan terhadap temuan-temun ilmiah modern, ini kebanyakan terjadi karena orang berpegang kepada pengetian lahiriah dari teks-teks al-Quran dan hadist atau warisan ajaran yang sudah ada sejak dahulu dan dianggap suci. Ketika dihadapkan pada teori bahwa bumi itu bulat sementara di dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang menyatakan bahwa bumi itu dihamparkan, maka banyak yang menolak teori bahwa bumi itu bulat.
Kedua, penerimaan terhadap temuan-temuan ilmiah modern karena memang terdapat dukungan keilmuan dari pemikiran Islam yang mendukung temuan-temuan ilmih itu. Misalnya teori bahwa bumi itu bulat, kalangan ini menerimanya melalui ilmu falak dan teori ini memang dapat dibuktikan. Ada lagi yang menerima dengan cara ayat-ayat atau hadist-hadist Nabi Muhammad saw dirangkai dalam urutan tertentu, sehingga membentuk kerangka yang masuk akal dan dapat digunkan untuk memahmi temuan-temuan ilmiah.
Ketiga, kehati-hatian terhadap pengaitan temuan-temuan ilmiah dengan agama terjadi karena adanya kesadaran bahwa al-Quran secara mendasar berbicara tentang moralitas, dan bukan buku teks ilmu yang berbicara tentang realitas, maka semestinya pernyataan-pernyataannya tidak diambil sebagi pernyataan tentang realitas empirik. Dengan demikian, tidak segera bersikap menolak terhadap setiap penemuan ilmiah dan sekaligus tidak mengukur kebenaran al-Quran dengan kesesuaian pernyatan-pernyatannya mengenai hal-hal empirik dengan temuan-temuan ilmiah. Karena, ada dasarnya, temuan-temuan ilmiah itu selalu bersifat tentatif, benar pada suatu zaman dan digugat pada zaman lainnya sesuai dengan ditemukannya bukti yang baru. Oleh karena itu, tidak menutup keungkinan bahwa ayat-ayat al-Quran mengenai hal-hal yang empirik dapat dipergunakan sebagai peta awal atau hipotesis bagi diberlakukannya penyelidikan-penyelidikan ilmiah.
Quraisy Syihab menyatakan bahwa kita tidak dapat membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah dengan ayat-ayat al-Quran, “Setiap ditemukan teroi baru, maka cepat-cepat kita membuka lembaran-lembaran kitab suci ini untuk membenarkan atu menyalahkannya.” (M. Quraisy Syihab.”Membumikan al-Quran, Cetakan XIX (Jakarta: Mizan,1999).
Tentang hadist Nabi Muhammad tentang pengobatan, Yusuf Qardowi setuju dengn Ibnu Kholdun, bahwa hal itu tidak bermuatkan perintah syari’ah, melainkan berkaitan dengan kebiasaan atau adat masyarakat dalam melakukan percobaan sederhana pada beberapa orang. Muhammad diutus kepada kita untuk mengjarkan hukum syariah dan bukan untuk mengajarkan atau mengenalkan ilmu kedokteran dan hukum adat. Suatu kali Nabi Muhammad memerintahkan untuk tidak mengawinkan pohon kurma dan ternyata hasil panennya waktu itu jelek, kemudian beliau berkata: “Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian” (HR. Muslim dari Anas ra).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar