Senin, 11 Maret 2013

Pluralisme Agama

Kata plural mengandung arti banyak atau jamak. Kata ini sering dipakai untuk menganalogikan sesuatu yang jumlahnya lebih dari satu atau banyak. Dalam banyak hal, kita sering menggunakan kata plural dalam kehiduan kita sehari-hari. Sedangkan kata pluralisme agama adalah sebuah teori atau paradigma bahwa semua agama itu adalah benar. Baik itu agama Islam, Yahudi, Kristen, Shinto dan lainnya. Paham ini menggangap bahwa semua agama sama hanya jalannya saja yang berbeda, tapi tujuan akhirnya sama yaitu menuju kepada Tuhan yang Satu atau Esa.
Didunia ini sudah tentu dan pasti akan kepluralan makhluk Allah dan hanya Allah sajalah yang Esa. Kita tidak mempersmasalahkan kata plural, namun yang menjadi masalah adalah kata pluralisme. Sebuah paham tentang penyaman agama-agama.
Paham pluralisme berkembang beriringan dengan sekularisme dan liberalism (SIPILIS). Virus sipilis sangat berbahaya sekali dan sampai saat ini belum ditemukan obatnya. Namun apabila yang terkena sepilis bukanlah jasad kita akan tetapi pikiran kita, maka sisi negatifnya bertambah banyak, karena tidak hanya kita sendiri yang akan menderita, namun orang lain juga akan terkena imbasnya.s
Sekularisme adalah sebuah paham tentang independensi agama dengan negara Dan segala apa yang berkaitan dengan keduniawian. Paham ini secara paksa memisahkan negara maupun urusan duia lainnya dengan agama. Hal ini jelas tidak mungin, sebab agama tidak dapat dipisahkan dari setiap gerak manusia, dimana pun manusia berada ia akan selalu terikat dengan agama, karena agama sejatinya bukanlah sebuah aturan, melaikan sebuah way of life, agama merupakan darah daging dan kehormatan yang harus kita pertahankan dengan nyawa kita. Segala tindak tanduk kita tidak akan pernah lepas dari pengaruh agama, karena ketika seseorang terlepas dari pada agama dan merasa bahwa ia tidak memiliki ikatan batin dengan agama, maka kejahatan akan merajalela.
Dalam meniti kehidupan ini, seseorang haruslah memiliki benteng dari pengaruh hal-hal yang negatif, seseorang haruslah menjaga dirinya dan ia tidak akan mampu menjaga dirinya dari keburukan kecuali dengan agama. Seseorang sejatinya tidak dapat hidup tanpa agama karena agama telah menjadi jalan hidup bagi mereka.
Paham tentang pemisahan antara hal-hal dunia dengan agama mencirikan bahwa tidak ada keseimbangan antara dunia dan akhirat. Seseorang melakukan pekerjaan didunia adalah sebagai bekal kelak di hari kemudian, apabila ada pemisahan antara agama dengan dunia, maka ini menunjukkan bahwa segala amal perbuatan kita didunia akan sia-sia karena tidak mendapatkan pahala diakhirat dengan kata lain imbalan yang kita dapat adalah imbalan didunia bukan imbalan akherat.
Untuk mendapatkan imbalan diakherat, seseorang harus melakukan pekerjaan sesuai dengan keyakinannya, jika ia melakukannya hanya untuk dunia, maka ia hanya akan mendapatkan dunia, sedangkan jika ia melakukan sesuatu demi untuk hari kemudian, maka ia akan mendapatkan dunia dan akherat. Tuntunan untuk mendapatkan imbalan setelah kematian hanya ada dalam agama, apabila dunia dan agama dipisahkan, maka seseorang hanya mengejar dunia dan mengabaikan akherat yang kekal.
Dalam diskursus tentang politik, ekonomi, budaya dan ilmu-ilmu yang lain telah terjadi pergeseran atau dalam istilah mdern sering disebut dengan shifting paradigm yaitu pergeseran paradigma. Sudah aklum sekali bahwa ilmu itu tidak ada yang abadi Dan tetap, sebuah ilmu akan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman Dan waktu.
Manusia modern akan terus berfikir dan merekonstruksi metode berfikir mereka agar dapat menyesuaikan diri dengan masa, kita tidaklah hidup dimasa lalu dan hanya mengendalkan ilmu-ilmu atau pengetahuan masa lalu untuk hidup dimasa sekarang maupun masa depan. Manusia modern harus;ah selalu meng-upgrade segala proses kehidupan mereka agar terjadi pararel dengan waktu. Seseorang tidak dapat hanya mengandalkan paradigma masa lalu sebagai pedoman hidup dimasa sekarang. Karena telah terjadi pergeseran budaya dan waktu alias berbeda masa dulu dengan masa sekarang disegala segi kehidupan.
Namun sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kita juga harus merekonstruksi agama Islam yang sejatinya telah paten dari Allah swt ? Perlukah kita menmbah dan membuang sesuatu dari ajaran bila sudah tidak sesuai dengan zaman ? Perlukah kita merekonstruksi ayat-ayat al-Quran agar sesuai dengan zaman? Hal ini lah yang sering menghantui kita, dilain sisi kita menginginkan kemoderenan Islam dan kesesuaian Islam dengan zaman, tapi disisi lain kita takut merekonstruksi agama yang sudah paten.
Shifting paradigm adalah sebuah pemikiran bahwa sanya seseorang perlu untuk merubah cara dan metode berfikirnya agar sesuai dengan keinginan dan tuntutan zaman. Secara garis besar, penodaaan agama dengan jalan menyebarkan virus pluralisme agama adalah karena adanya factor kolonialisasi ilmu pengetahuan dan teknologi oleh Barat. Peradaban Barat saat ini seakan berada dipuncak kejayaan dan menistakan serta menafikan segala kontribusi besar yang diberikan oleh Islam sebelum munculnya peradaban Barat yang bermuara di Eropa.
Kejayaan dan kegemilangan Islam dalam ilmu pengetahuan dan teknologi sekitar abad pertengahan sejatinya telah memberikan kontribusi yang amat besar bagi kelangsungan dan perkembangan budaya dan peradaban Barat. Barat yang ada sekarang adalah merupakan kontinuitas dari peradaban Islam masa lalu. Islam yang kuat dan tak tertandingi itu kini telah hancur terkalahkan oleh Barat.
Pluralitas atau Pluralisme Agama ?
Pemikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan pembaruan yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Umat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya di balik gerakan ini?
Sebenarnya fahaman inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dinukum wa liya din). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain.
Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dari Religion and Globalization, karya Peter Bayer, Islam, Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau Religion and Global Order, oleh Ronald Robertson dan WR. Garet.
Nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Tidak aneh jika kini seminar tentang dialog antar agama, global ethic, religious dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lain sangat marak diseluruh dunia. Organisasi non pemerintah (NGO) di dunia ketiga pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal rintisan oleh Zwemmer The Muslim World pada edisi terkininya (volume 94 No.3, tahun 2004). Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen. Sudah tentu disitu framework Barat sangat dominan.
Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis.
Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologis yang mengusung program globalisasi, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis cultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu.
Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology. Selain Hick diantara tokohnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Problems of Religious Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini: “Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.
Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama.
Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut al-hikmah al-kholidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama ”all paths lead to the same summit”.
Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah Renà GuÃnon (m. 1951), T. S. Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m. 1984), Fritjhof Schuon (m.1998), Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J. Needleman, William C. Chittick dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar