Senin, 11 Maret 2013

Pendidikan, Normalisasi Manusia

Pendidikan adalah harga mati bagi manusia. Manusia benar-benar tidak bisa hidup normal tanpa pendidikan. Karena, ketika manusia menemukan suatu masalah dalam hidupnya, ia pasti akan membutuhkan ilmu untuk menyelesaikan kemelut hidupnya. Sejatinya, pendidikan tidaklah hanya sebatas pendikan sekolah atau pendidikan formal, akan tetapi pendidikan sangat luas cakupannya. Bila ditinjau dari segi formalitas, maka pendidikan dapat dibagi menjadi dua yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang kita dapatkan ketika dibangku sekolah, sedangkan pendidikan nonformal adalah pendidikan luar sekolah, baik itu dari lingkungan keluarga, masyarakat, teman bahkan juga pendidikan yang bisa kita dapat dari lingkungan atau alam.
Jika dilihat dari segi praktiknya, maka pendidikan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pendidikan jasmani, pendidikan etika atau akhlak dan pendidikan roh atau jiwa (spiritual). Tiga cakupan pendidikan ini adalah yang harus dikembangkan dilembaga-lembaga sekolah diseluruh dunia, sehingga anak didik tidak hanya mendapat asupan ilmu atau intelektual saja dari sekolah, namun yang lebih penting adalah penanaman dan pembudayaan nilai-nilai yang tekandung dalam pendidikan tersebut. Aplikasi dari pada keilmuan yang didapat oleh murid itulah yang harus kita fokuskan dalam rangka manjaring praktisi-prakstisi yang dapat membangun serta memajukan bangsa dengan pendidikan.
Dalam banyak hal, kita telah mengetahui bahwa sanya pendidikan di sekolah-sekolah kita hanyalah sekedar ajang transfer ilmu atau pengetahauan dan melupakan hal yang terpenting dalam pendidikan adalah pembudayaan dan bukan hanya sekedar pengajaran. Ketika seorang guru hanya menyampaikan ilmu kepada murid maka hal ini akan sangat mudah sekali terlupakan karena tidak ada aplikasi dari pada ilmu tersebut, inti dari pada pengajaran ilmu pengetahuan itu adalah pengamalan yang terbudayakan.
Perlu sekali dipahami, bahwa seseorang tidak akan pernah melakukan sesuatu apapun tanpa ilmu yang ia miliki, ia akan selalu bertindak bodoh dan membahayakan, namun seseorang juga tidak hanya cukup hidup dengan ilmu pengetahuan tanpa pembudayanan dan pengamalannya. Hal ini jelas bahwa ilmu yang kita miliki tidaklah membawa pada kebaikan malah membawa kemudlaratan. Ketika guru hanya menggembeng intelektualitas murid dan melupakan aplikasi dari pada ilmu pengetahuan itu sendiri (akhlak) maka guru itu telah berhasil dalam mencetak intelektual-intelektual yang korup, guru tersebut telah sukses dalam mendidik manusia-manusia yang akan memeras umat dan bangsa yang nantinya akan dipimpinnya.
Aplikasi dari pada ilmu pengetahuan, disini kita sebut sebagai akhlak atau tingkah laku. Ketika seseorang memiliki ilmu pengetahuan, maka akan tercermin dari gerak-gerik dan tingkah lakunya. Kita pasti akan sangat mudah membdakan antara orang yang bodoh dengan orang yang berilmu atau pintar, kita bisa melihat dari cara dia bertutur dan bertingkah laku, akan muncul suatu perbedaan mendasar dalam segi tutur kata dan tingkah laku diantatra keduanya. Namun, ilmu yang kita miliki sejatinya bukanah sesuatu yang final dan mutlak kebenaranya, ilmu pasti relatif dengan keadaan zaman dan masa.
Secara garis besar, ilmu yang kita miliki akan menjadi penerang bagi kita bila kita mengamalkan ilmu itu dalam kehidupan kita sehari-hari, namun ilmu tersebut akan menjadi malapetaka yang tidak hanya merugikan diri kita sediri bahkan orang lain ketika kita hanya berspekulasi dengan akal atau mengisi otak saja dan melupakan akhlak, akhlak adalah cerminan dari ilmu dan iman.
Ketika seseorang belajar dengan penuh keyakinan bahwa ilmu itu berasal dari Sang Pencipta atau dia belajar dengan diiringi oleh iman, maka akan tampak pada dirinya akhlak atau tingkah laku yang terpuji. Ketika seseorang pintar atau berilmu tinggi namun kelakuannya tidak juga berubah layaknya orang yang tidak berilmu, maka perlu kita pertanyakan proses ia dalam mendapatkan ilmu tersebut. Kita yakin bahwa ia tidak ikhlas dalam mencari ilmu dan mencari ilmu hanya untuk mengisi otak dan bukan untuk memenuhi panggilan Ilahi.
Di negara kita, begitu banyak orang yang pintar namun kepintarannya justru menjadi malapetaka bagi dirinya dan orang lain. Kita memang membutuhkan orang yang pintar untuk menyelesaikan masalah kemelut bangsa, namun sejatinya kita lebih membutuhkan orang yang benar dari pada orang yang pintar. Seseorang yang benar sudah barang pasti ia pintar, sedangkan orang yang pintar belum tentu ia benar. Ketika seseorang melakukan kebenaran, maka bisa dipastikan bahwa ia orang yang pintar, karena mustahil orang bisa mengambil tindakan benar sedang ia tidak mengetahui apakah itu benar atau salah.
Ketika ia mengetahui bahwa hal itu benar maka ia lakukan itu, kebenaran adalah persesuaian antara ucapan atau pernyataan dengan realita atau kenyataaan. Namun sebaliknya, orang yang pintar belum tentu ia menjadi benar, hal ini tergantung kepada pemilik ilmu tersebut, apakah ia mengaplikasikan dan mengaktualisasikan ilmunya atau tidak, apakah ilmu itu digunakan untuk kebaikan atau kejahatan. Maka orang yang pintar belum tentu benar dan orang yang benar sudah pasti ia pintar.
Dalam istilah Arab, pendidikan di terjemahkan sebagai Tarbiyah. Banyak varian makna dari kata Tarbiyah ini, yaitu pembudayan, pembiasaan dan pengajaran. Tarbiyah adalah membudayakan dan membisakan anak didik terhadap hal-hal yang positif. Pendidikan juga merupakan pengajaran atau transfer ilmu kedalam otak murid. Namun pengajaran lebih kecil cakupannya dibandingkan dengan pendidikan. Namun keduanya tetap pararel, karena pendidikan tidak akan berjalan dengan lancar tanpa pengajaran begitu juga pengajaran tidak akan berjalan mulus tanpa pendidikan.
Pendidikan di Indonesia khususnya, lebih banyak mengedepankan pengembangan intelektual anak dan abai terhadap sisi-sisi emosinal dan spiritual anak didik. Seakan intelektualitas mampu menyelesaikan segala macam persoalan, sehingga semua orang berlomba-lomba mencari sekolah atau tempat belajar formal yang memiliki kapasitas dan kredebilitas ditengah masyarakat akan skill nya dalam membangaun keintelektualan siswa. Banyak sekali sekolah-sekolah favorit di Indonesia saat ini, namun sayanggnya disekolah ini hanya sisi intelektualitas saja yang dikejar dan melupakan sisi emosional dan spiritual.
Paradigma masyarakat Indonesia inilah yang harus kita ubah, kita harus bisa meyakinkan kepada khalayak bahwa intelektualitas bukanlah way of life. Intelektualitas bukanlah satu-satunya kecerdasan yang bisa menyelelesaikan semua masalah yang ada. Kita harus berani bersuara bahwa kecerdasan emosional dan spiritual yang selama ini dilupakan masyarakat Indonesai merupakan hal yang harus diraih. Karena kecerdasan emosional dan spirituallah yang mampu membawa kita pada kesuksesan, tidak hanya kesuksesan didunia tapi juga kesuksesan diakherat kelak.
Emosional adalah cerminan dari keilmuan seseorang, emosi inilah yang sering disebut orang dengan akhlak atau tingkah laku. Kapasitas keilmuan seseorang berpengaruh kepada akhlak dan tigkah laku kesehariannya. Serang yang berilmu tinggi haruslah memiliki akhlak ynag tinggi pula, semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin ia dituntut untuk memiliki akhlak yang terpuji, Ia berkewajiban untuk mengaktualisasikan ilmu yang dimilikinya kedalam kehidupan sehari-hari.
Sangat disayangkan sekali, apabila seseorang memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi namun kualitas akhlakaknya menurun dan tidak sesuai dengan ilmu yang dimiliinya. Hal ini merupakan malapetaka yang akan menyengsarakan banyak orang. Ketika ilmu bertambah dan akhlah tidak berubah, maka ia akan semakin jauh dari Sang Maha Pencipta Allah SWT.
Ilmu adalah milik Allah SWT, sudah seharusnya kita mengabdikan diri kepada-Nya yang telah memberikan ilmu-Nya kepada kita. Apabila kita menyadari dengan sepenuh hati akan hakekat ilmu, maka kita akan seperti padi yang semakin berisi semakin tunduk dan tawdlu’. Hal inilah yan dinginkan oleh Islam, dimana setiap orang yang semakin bertambah ilmu maka semakin nampak pula kebodohannya dan keluasan ilmu Allah yang tiada pernah habis untuk digali. Ilmu berupaya mengantarkan kita kepada tujuan kita,. Tujuan kita adalah sang pencipta dan kita tidak akan pernah bisa bertemu dan berjuma dengan apa yang kita tuju kecuali dengan ilmu. Seperti hadits Nabi yang mengatakan, “Barang siapa yang menginginkan dunia, maka hendaklah ia berilmu, Dan barang siapa yang menginginkan akherat, maka hendaklah ia berilmu, Dan barang siaa yang menginginkan keduanya, maka hendaklah ia berilmu.”
Hadist ini sangat jelas, untuk dapat hidup didunia maupun bahagia di akherat kita harus memiliki ilmu pengetahuan. Kita meyakini bahwa Allah akan mengangkat derajat manusia dengan ilmunya. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mujadalah, “ Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu pengetahuan berberapa derajat.” Ini janji Allah SWT, bahwa ia tidak akan menghinakan orang yang beriman dan berilmu pengetahuan. Orang yang berilmu pasti akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT.
Namun, dalam ayat diatas disebutkan, bahwa yang diagkat adalah orang yang beriman baru kemudian orang yang berilmu pegetahuan. Hal ini untuk mengkorelasikan bahwa iman dan ilmu itu pararel sifatnya. Ilmu sejatinya menuntut kepada keimanan dan keimanan tidak akan terbentuk melaikan dengan ilmu. Kita tidak akan beriman kepada Allah, kecuali kita mengetahui Allah. Kita tidak bisa mengimani sesuatu kalau terlebih dahulu tidak mengetahui sesuatu itu, kita baru akan yakin dan percaya bahwa hal itu seperti ini dan begitu setelah kita mengetahuinya.
Hal ini berbeda dengan keimanan Kristiani yang mengimani sesuatu tanpa terlebih dahulu mengetahui. Sehingga baik dan buruknya sesuatu itu tetap kita ambil karena kita telah meyakinai dan mengimanai sesuatu itu. Keimanan Kristiani mengajarkan bahwa kita harus mengimani Yesus Kristus sebagai Tuhan tanpa harus mengetahui terlebih dahulu akan siapa dan apa serta bagaimana Yesus Kristus itu sendiri. Sehingga setelah kita mengetahui apa dan siapa serata bagaimana Yesus Kristus itu, maka keimanan kita tidak akan runtuh karena biar bagaimanapun jeleknya Yesus Kristus itu, kita tetap mengikutinya karena kita telah beriman terlebih dahulu sebelum mengetahuinya bahwa ia bukanlah Tuhan.
Hal ini tidak senanda dengan Islam yang mengajarkan kepada kita untuk mengetahui terlebih dahulu sebelum meyakini sesuatu. Ini berkaitan dengan surat pertama yang diturunkan yaitu Iqro’. Surat ini mengindikasikan bahwa kita haruslah membaca guna memperoleh ilmu pengetahuan, kita dianjuran belajar. Ayat yang pertama turun bukanlah ayat tentang Allah, nanun ayat yang turun adalah perintah belajar. Sebelum kita meyakini Allah sebagai Tuhan seluruh alam, kita diwajibkan terlebih dahulu untuk belajar banyak hal. Karena kita memubutuhkan ilmu yang banyak untuk meyakini dan mengimani Allah secara benar.
Kapasitas keilmuan seseorang akan mempengaruhi sistematika logika berfikirnya, semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin bagus kemampuan nalar, berfikir dan logikanya. Hal inilah yang diinginkan. Seseorang yang berilmu akan mudah menerima Allah sebagai Tuhannya, karena logika manusia tidak akan pernah bertentangan dengan ajaran Allah. Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin mudah baginya untuk meyakini dn mengimani Allah serta tunduk beribadah kepada-Nya.
Tunduk dan mengakui akan kebenaran Islam adalah tujuan akhir dari pada pendidikan. Pendidikan yang berorientasi pada pengembangan intelektual sejatinya sangat bagus sekali dikembangkan, namun perlu disadari bahwa intelektual tidak dapat menjamin seseorang untuk hidup sukses. Disamping penggemblengan intelektual, kita juga harus menggembleng moralitas dan spirituaitas kita. Karena ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah yang akan memberi manfaat pada orang lain. Pengamalan yang kongkrit inilah bentuk nyata dari ilmu yang abstrak. Jadi perlu sekali kongkritisasi ilmu dengan mengaktualisasikannya kedalam kehidupan sehari-hari.
Spekulasi akal dalam memperoleh ilmu sejatinya sah-sah saja, namun yang perlu kita sadari adalah bahwa akal memiliki batasan-batasan tertentu yang tidak mampu dicapainya. Seperti hal-hal yang ghoib. Akal tidak akan sanggup mencapai atau menalar akan eksistensi Allah yang batin, keadaan sorga dan neraka. Keterbatasan akal manusia inilah yang menyebabkan turunnya al-Quran sebagai pedoman manusia dalam berfikir dan bertindak. Kalau seandainya akal manusia tidak memiliki batasan-batasan, maka tidak ada gunanya al-Quran turun karena manusia telah mengetahuai segala sesuatu baik yang dzahir maupun yang batin atau ghoib. Al-Quran turun untuk memberikan informasi kepada manusia bahwa Allah seperti ini, Sorga dan Neraka seperti ini dan lain sebagainya.
Manusia sejatinya memiliki kecenderungan untuk mengetahui sesuatu karena dengan megetahui sesuatu itu maka batin manusia akan merasa puas, nah kepuasan inilah yang ingin digapai oleh manusia. Ketika manusia ingin mengetahui sesuatu, maka ia membutuhkan ilmu pegetahuan, namun ketika ilmu pengetahuan tidak mampu memuaskan batinnya,maka ia beralih kelapangan filsafat yang lebih mendalam untuk mengetahui hakekat hidupnya, namun filsafat juga belum bisa memuaskan batinnya, masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang bernaung dipikirannya. Oleh karena itulah wahyu turun untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sekaligus memuaskan batin atau jiwanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar