Sabtu, 16 Maret 2013

PROBLEMATIKA PERADABAN BARAT, REFLEKSI PROBLEM FUNDAMENTAL TEOLOGI DAN HISTORY KRISTEN

Dari ujung rambut sampai ujung kaki, masyarakat dunia zaman sekarang merasakan pengaruh peradaban Barat yang diusung oleh arus globalisasi yang bermuara pada pembaratan atau westernisasi. Pengaruh ini pun melekat dalam kehidupan seharai-hari, seperti cara berpakaian, visi kenegaraan dan hubungan antar bangsa, bahkan menghibur diri pun kini orang kebanyakan menggunakan cara dan ukuran-ukuran kesenangan orang Barat. Barat memang sedang menjadi peradaban yang dominan dan menjadi primadona masa kini. Sayangnya, tidak banyak orang yang benar-benar tahu dan paham apa inti sebenarnya dari peradaban Barat itu.
Sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan. Namun belum ada tantangan dan kekacauan yang lebih besar dan serius dari pada kekacauan yang ditimbulkan oleh peradaban Barat seperti saat ini. Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang pemikir dari Universitas Islam Malaysia (UIM) yang dikenal cukup baik dalam dunia Barat dan Islam, memandang problem terberat yang dihadapi manusia saat ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan sekuler Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia.
Menurut al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sebagai teoritis belaka. Kebenaran absolut atau mutlak dinegasikan dan kebenarannya dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada kepastian, konsekuensinya adalah penegasian Tuhan dan akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya di Tuhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. Berbagai problem kemanusiaaan muncul sebagai wujud dari kacaunya nilai-nilai. Yang perlu kita ketahui saat ini adalah bagaimana kita menghadapi berbagai problema umat manusia, kita haruslah bersatu dalam visi dan misi serta aksi.
Sebenarnya, mempelajari peradaban Barat tak ubahnya dengan mengupas bawang Bombai, satu persatu siungnya di kupas dari luar, namun secara pasti menuju inti yang sebenarnya tidak ada apa-apanya. Dari lapisan luar sampai lapisan terdalam, peradaban Barat bagaikan bawang Bombai yang melulu kulit sampai kepusat. Secara umum, kajian tentang Barat (oksidentalisme) yang dilakukan oleh bangsa non-Barat memiliki karakteristik dan ciri-ciri yang berbeda dengan kajian tentang Timur (orientalisme) yang dilakukan bangsa Barat. Setidaknya ada beberapa hal sebagai berikut :
1. Orang Barat yang datang dan belajar tentang Timur akan menghasilkan karya-karya ilmiah yang detail tentang aspek-aspek peradaban Timur. Sedangkan orang Timur yang datang ke Barat kebanyakan akan menghasilkan karya ilmiah yang detail tentang aspek-aspek peradabannya sendiri dengan framework peradaban Barat.
2. Orang Barat yang datang ke Timur untuk belajar, akan menghasilkan pandangan-pandangan yang kritis tentang aspek-aspek peradaban Timur. Bukan itu saja, pandangan kritis tersebut digunakan untuk sebagai alat oleh Barat dalam mengambil keputusan agar Barat lebih dalam dan luas lagi mempengaruhi hajat hidup orang-orang Timur. Sedangkan orang Timur yang belajar ke Barat kebanyakan menghasilkan pandangan-pandanga kritis tentang peradabannya sendiri dan malah ikut Barat mengubah aspek-aspek peradaban Timur sesuai arus dari arah Barat.
3. Orang Barat yang datang dan belajar di Timur sedikit banyak menyerap kebiasaan hidup orang-orang Timur hanya sebagai pleasure atau kesenangan saja. Namun sebagian aspek kepribadiannya tetaplah Barat. Sedangkan orang Timur yang belajar ke Barat, tidak sedikit menyerap kebiasaan hidup orang Barat sebagai character building, pembangunan kepribadian yang dianggapnya menuju ke arah yang lebih baik atau positif. Makan tetap tempe namun pemikiran lebih suka kebarat-baratan.
Sejak sekitar 20 tahun lalu, dunia pemikiran Islam di Indonesia sebenarnya mulai memasuki babak atau wajah baru menyusul membanjirnya arus dan pola pemikiran Barat dalam studi keIslaman (Islamic studies). Banyak terdapat perguruan tinggi Islam maupun Kristen di tanah air yang menawarkan program religius atau Islamic studies ala Barat. Sekitar dua dekade lalu, banyak sarjana muslim yang berbondong-bondong pergi ke Barat untuk belajar tentang Islam dengan orientalis. Dan pulang dengan mempromosikan pemikiran-pemikiran serta gagasan-gagasan dan metodologi pengajaran Islam ala Barat.
Menurut prof. Mastuhu, “Jika diamati secara mendalam, studi keIslaman di IAIN dan di tanah air pada umumnya masih banyak didominasi oleh pendekatan normatif (dogmatis) dan kurang wawasan empiris-historis.” Karena itu, menurut para penyokong metode Barat, mempelajarai dan menguasai gagasan para pemikir Barat merupakan suatu “keharusan.”
Masalahnya, tentu bukan hanya belajar, bukan sekedar ajang transfer ilmu belaka lalu selesai begitu saja. Tetapi, sejauh mana para sarjana muslim mampu menyadari berbagai konsekuensi dari alih metodologi dan impor pemikiran itu, terutama dalam masalah yang dalam tradisi sudah mapan (tsawabit -yang oleh Arkoun disebut unthinkable, seperti masalah akidah, otentitas al-Quran, kehujahan hadist Nabi dan sebagainya.) Suatu ide atau teori tidaklah muncul begitu saja, tanpa sejumlah asumsi dan presuposisi. Demikian pula gagasan pemikiran tentunya tidak akan lepas dari konteks peradaban dimana teori itu dilahirkan.
Tanpa menafikan hal-hal yang sifatnya universal dalam setiap pemikiran, tidak dapat dinafikan sama sekali adanya perbedaan-perbadaan prinsipil yang melandasi dan melatarbelakangi suatu gagasan. Sekularisme dan liberalisme yang lahir dari rahim peradaban Barat tidak lepas dari problema sejarah dan keagamaan Kristen di Barat. Jika di telaah secara lebih cermat, ada perbedaan mendasar dan fundamental antara Islam dan Kristen, baik dari segi teologis maupun historisnya. Karena itu, seyogyanya kaum muslim bisa mengambil sesuatu yang bermanfaat dari Barat tanpa harus merubah dan menghancurkamn fondasi bangunan Islam. Tidak perlu mengikuti tradisi kaum pemikir yang telah kecewa dengan doktrin dan sejarah agamanya sendiri, lalu mengaplikasikan metodologi sekuler-liberal dalam memahami Islam.
Tentu saja harus di akui, Barat memang memiliki berbagai keunggulan dalam studi Islam, karena mereka telah menyiapkannya dengan sungguh-sungguh selama ratusan tahun. Literatur-literatur keislaman berhasil mereka himpun dengan baik, sarjana dan pakar-pakar keislaman pun mereka miliki. Dengan keunggulan ekonomi, mereka juga memberikan fasilatas belajar yang wah kepada banyak sarjana muslim diseluruh dunia Islam. Maka tidak heran jika setiap tahun kita melihat sarjana muslim datang ke Barat untuk belajar tentang Islam kepada sarjana-sarjana Yahudi dan Kristen. Sementara itu, hampir tidak ditemukan ada sarjana Yahudi-Kristen yang belajar tentang agama mereka kepada para sarjana muslim.
Belajar kepada siapa saja sejatinya tidak ada masalah, yang terpenting adalah kita harus memahami mana emas dan mana besi karat, mana shampoo dan mana oli. Untuk memahami ini semua tentunya harus dengan persiapan yang matang. Karena untuk menjadi muslim yang berkualitas mutlak diperlukan pemahaman terhadap Islam dan kajian tentang Barat. Karena hegemoni Barat dalam studi keislaman di berbagai perguruan tinggi di Inonesia merupakan hal yang mencengangkan. Paham pluralisme dan metode hermeneutika dalam tafsir al-Quran, liberalisme moral dan sebagainya sudah menyebar layaknya virus ganas atau penyakit menular dan dipelajari di pondok pesantren dan perguruan-perguran tinggi di Indonesia.
Pemerhati non-muslim dan seluruh lapisan umat Islam yang befikir, tetunya bertanya-tanya : Kenapa agama Islam dan umatnya menjadi sasaran yang bertubi-tubi kolinialisme dan kritikan Barat di sebanding dengan agama dan umat lain dalam sejarah umat manusia ? Tidak terdapat kritikan Barat yang bertubi-tubi dan massif selama ratusan tahun kepada Gautama Buddha, Kung Fu Tse, atau Lao Tse berbanding kritikan yang dilemparkan terhadap pribadi dan ajaran Muhammad saw. Hal tersebut terjadi setidaknya ada beberapa hal berikut ini :
1. Kebangkita Islam diatas pentas sejarah telah menantang dakwaan Kristen sebagai agama yang universal untuk seluruh umat manusia.
2. Sejak awal, al-Quran memang telah menentang dasar-dasar keimanan Kristen dan menolak bahwa Allah bisa beranak dan diperanakkan serta hakikat nabi Isa dan ibunya, Maryam.
3. Al-Quran juga telah mengisahkan dengan jelas sikap dan prilaku ketua agama-agam Yahudi dalam menyelewengkan ajaran-ajaran para anbiya dari Bani Israel.
4. Islam telah mengubah tubuh dan jiwa orang-orang Barat secara revolusioner dalam bidang-bidang linguistik, sosial, kebudayaan, keilmuan dan ekonomi.
5. Perluasan pengaruh Islam serta tanah taklukannya keseluruh Timur Tengah termasuk kawasan yang dahulunya adalah kekuasaan kerajaan Binzantium, India dan Afrika dalam waktu yang begitu singkat. Dan selama lima abad mengusasi lalu berdagangan laut Mediterania dan India
6. Islam berpotensi untuk bangkit seperti semula berdasarkan konsep tajdidnya dan mampu menantang hegemoni kebudayaan Barat di masa mendatang.

Bagaimana Meruntuhkan Bangunan Islam ?
Peradaban Barat sejatinya merupakan merupakan ramuan dari unsur-unsur Yunani kuno, Kristen dan tradisi Paganisme Eropa. Meskipun Barat telah menjadi sekuler-liberal namun sentimen keagaman kristen masih melekat erat dalam tubuh Barat dan mewarnai kehidupan mereka. Bila dalam kolonialisme klasik mereka mengusung jargon, “Gold, Gospel dan Glory” sekarang pun semboyan itu tidak berubah dalam beberapa hal. Jika kita teliti secara mendalam, serbuaan AS ke Irak pada tahun 2003 serta dukungannya yang massif terhadap Israel tentunya tidak lepas dari pengaruh serta unsur-unsur “gold, gospel dan glory.” Meski berbeda dalam banyak hal, unsur-unsur Barat sekuler-liberal kadang bisa bertemu dengan kepentingan “misi Kristen” atau “sentimen Kristen.”
Dimasa klasik dulu, seorang misionaris legendaries Henry Martin menyatakan, “Saya datang menemui umat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan pasukan tapi dengan akal sehat, tidak dengan kebencian tapi dengan cinta.” Dia juga berpendapat bahwa perang Salib telah gagal. Karena itu untuk menaklukkan dunia Islam, ia menawarkann resep manjur yaitu dengan, “kata, logika dan cinta.” Dan bukan kekuatan senjata atau kekerasan.
Misionarais lainnya Reimond Lull juga menyatakan hal senada, “Kulihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci di seberang lautan; dan ku pikir mereka akan merebutnya dengan kekuatan senjata; tapi akhirnya semua hancur sebelum mereka mendapatkan apa yang tedinya ingin mereka rebut.” Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris editor, “church missionary society”, tidak ada figur yang sehebat Reymond Lull. Lull kata Stock, adalah missionaris pertama bahklan terhebat bagi kaum Mohammedans”. Itulah resep Lull: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan “darah dan air mata,” tetapi dengan “cinta kasih dan doa.”
Kekuatan kata yang di padu dengan kasih seperti ungkapan Henry Martin sangat ampuh dalm menaklukkan hati umat Islam. Konon orang Jawa -sebagaimana huruf Jawa- akan mati jika “dipangku”. Jika seorang dibiayai, dibantu, diberi perhatian (kasih) maka akan luluh hatinya, pendapatnya akan goyah, tapi hal ini tidak selalu. Simaklah keyakinan dan pemikiran Ahmad Wahab dan Nur Cholish Madjid yang sengat mudah sekali berubah. Simaklah bagaimana kekuatan ide freedom dan liberalism mampu menggulung sebuah imperium besar Turki Utsmani.
Ketika kaum muslimin tidak memahami Islam dengan baik, tidak meyakini Islam dan minder terhadap peradaban Barat yang megah, maka yang terjadi kemudian adalah imitasi terhadap peradaban Barat yang dikaguminya. Abdullah Cavdet, seorang tokoh gerakan Turki muda menyatakan, “ Yang ada hanya satu peradaban dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya maupun durinya sekaligus.”
Sekularisme dan liberalism di Barat telah memukau banyak umat manusia. Gerakan pembebasan atau liberation movement di berbagai dunia mendapat inspirasi dari dua peristiwa besar, yaitu “revolusi Perancis” dan “kemerdekaan AS.” Dibawah jargon liberty, equality and fraternity ini jutaan orang tertarik untuk melakukan apa yang disebut sebagai “Kemerdekaan abadi semua bangsa dari tirani politik dan agama.” Dalam konteks Utsmani ketika itu, Sultan Abdul Hamid II di posisikan sebagai kekuatan tiran.
Kekuatan kata dan kasih telah terbukti ampuh dalam menaklukkan hati umat Islam, yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan kurang bersahabat atau simpatik, seperti “ortodoks, beku dan berorientasi masa lalu, emosional”. Sejarah menunjukkan kalaborasi cendikiawan Turki, Kristen Eropa dan Zionis Yahudi berhasil menggulung imperium Turki Utsmani. Ironisnya, dua dari empat orang yang menyerahkan surat pemecatan atas sultan Abdul Hamid II pada 1909 adalah non-muslim. Salah satunya adalah Emmanuel Karasu seorang tokoh Yahudi.
Sebagai penutup, kita harus meyakini dengan ilmu bahwa Islam benar-benar agama yang benar dan pandangan hidup yang memiliki sejarah peradaban yang gemilang. “Untuk mempertahankan dan mengembangkan peradaban Islam tidak berarti menolak mentah-mentah masuknya unsur-unsur peradaban asing. Sebaliknya untuk bersikap adil terhadap peradaban lain tidak berarti permisif terhadap masuknya segala macam unsur dari peradaban lain tanpa proses adaptasi.”
Demikian paparan Hamid Fahmi Zarkasyi, direktur INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization). Dua kalimat terakhir dalam pernyataan Hamid tersebut perlu sekali digaris bawahi. Bahwa sejak lahirnya, Islam tidak pernah menolak untuk berinteraksi dengan peradaban lain. Ketika itu, dimasa-masa embrionalnya, Islam telah hidup berdampingan dengan dua peradaban besar yaitu Romawi dan Persia, namun Islam sama sekali tidak minder dan gentar. Secara keilmuan telah terbukti, para cendikiawan muslim mampu menyerap berbagai khazanah keilmuan asing, melalui proses adopsi dan adaptasi yang sebenarnya adalah merupakan proses Islamisasi sains. Proses menolak “radd” dan menetapkan “itsbat” praktis berlangsung dan berkembang dengan baik. hingga peradaban Islam berkembang dan meraih nilai gemilang dimata dunia selama retusan tahun dengan proses semacam itu.
Namun kini, persoalan menjadi lain. Disamping hegemoni Barat yang sangat kuat, tradisi keilmuan dikalangan umat Islam pun menurun. Banyak tokoh muslim yang berfikir denga jalan pintas bahwa keagungan Islam akan bisa dicapai apabila kekuasaan politik mereka pegang. Politik, ekonomi, informasi adalah sector-sektor yang sangat penting yang harus dikuasai, namun hal itu tidaklah lepas dan harus berbasis pada keilmuan yang tinggi. Tradisi keilmuanlah yang mampu membangkitkan suatu peradaban. Mongol dapat mengalahkan Islam di Baghdad dan sekitarnya. Tetapi peradaban yang rendah itu akhirnya jusru terserap oleh peradaban Islam. Maka, jika kita berbicara masalah peradaban maka tidak lain yang harus menjadi perhatian utama adalah faktor ilmu atau tradisi keilmuan yang harus dibangun dikalangan muslim.
Ironisnya, justru dalam kajian keIslaman, tradisi keilmuan ini tidaklah berkembang dengan baik. Bahkan hampir tidak ada perhatian serius dari kalangan muslim Indonesia khususnya untuk melahirkan cendikiawan-cendikiawan yang unggul yang menguasai wacana Islam dan Barat secara komprehensif. Belum ada satu pun perguruan tinggi Islam di Indonesia yang memiliki visi membangan perpustakaan yang lengkap dengan kualitas tinggi seperti yang di miliki Kristen dan yahudi di Barat. Pendidikan pun masih dijalankan dengan pola masal, mengejar target banyaknya mahasiswa dan sarjana yang dihasilkan tanpa terlalu menekankan pada aspek kualitas.
Kita tentunya prihatin dengan meruaknya hegemoni Barat dalam bidang keilmuan dan kajian keIslaman. Pemikiran, metodologi dan peradaban Barat di jiplak begitu saja tanpa filterisasi dan daya kritis yang berarti. Betapa ironinya, selama ratusan tahun kita dijajah Belanda, hampir tidak ada kalangan ulama dan cendikiawan Muslim yang menghujat al-Quran dan menyatakan semua agama itu sama dan semuanya menuju kearah kebenaran dan keselamatan. Menggemanya paham pluralisme agama, penggunaan metode Hermeneutika terhadap tafsir al-Quran dan sebagainya, justru terjadi dan diserap begitu mudahnya pasca kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mendasar dalam Islam pun dibongkar, didekonstruksi tanpa memikirkan dampaknya dengan seksama. Yang lebih merisaukan lagi adalah kesiapan kaum muslim yang masih sangat minim untuk menghadapai zaman baru berupa “perang intelektual.” Bahkan tidak sedikit cendikiawan yang menganggap enteng, seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan pemikiran Islam.
Mungkin banyak yang tidak sependapat denga tulisan ini, perbedaan pendapat kadang bisa dijembatani dan terkadang juga tidak bisa di temukan titik temunya. Karena manusia meyakini jalan hidup dan pikirannya masing-masing. Jika telah begitu, maka kita serahkan kepada Allah swt. Untuk membuktikan kebobrokan komunisme orang harus menunggu hampir satu abad. Mungkin untuk beberapa kasus, kebenaran akan tampak di akherat kelak. Perdebatan Rosulullah saw. dengan delegasi Kristen Najran harus berakhir dengan mubahalah yang akhirnya ditolak oleh delegasi Kristen.
Terkadang, melihat besarnya problema yang dihadapi kaum muslim dunia umumnya dan Indonesia khususnya serta minimnya persiapan kaum muslim untuk menghadapinya, masa depan pemikiran Islam Indonesia memang patut dikhawatirkan. Namun Allah mengingatkan agar kita tidak perlu merisaukan orang-orang yang berlomba-lomba menuju kekufuran (Ali Imron: 176). Tugas kaum muslim sudah jelas yaitu memberi peringatan, memberi penjelasan dan berusaha menunjukkan mana yang hak dan yang batil, masing-masing manusia akan dimintai pertanggungjawabaan atas amalnya sendiri-sendiri kelak di hari penghisaban.
Wallahu A’lam Bisshowab…
Mahasiswa Semester IV (Empat)
Asal Lubuk Linggau Sum-Sel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar