Senin, 11 Maret 2013

Jamiah Al-khoiriyah

Jamiah Al-khoiriyah yang lebih dikenal dengan Jamiah Khoir –organisasi yang beranggotakan mayoritas orang-orang Arab, tapi tidak menutup kemungkinan bagi setiap muslim untuk menjadi anggota tanpa diskriminasi asal usul. Umumnya anggota dan pemimpin organisasi ini adalah orang-orang berada, yang memungkinkan bagi mereka untuk mengembangkan organisasi tanpa meminta bantuan dana- adalah sebuah organiasai yang didirikan pada 17 Juli 1905 di Jakarta. Organisasi ini memusatkan gerakannya pada bidang pendidikan. Lebih terperincinya lagi organisaasi ini memusatkan pada :
 Pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar
 Pengiriman anak-anak ke Turki untuk melanjutkan studinya.
Namun bidang kedua ini terhambat karena kekurangan dana dan kemunduran khilafah, dengan pengertian tidak seorang pun dari mereka yang dikirim ke Timur Tengah memainkan peranan yang penting setelah mereka kembali ke Indonesia.
Bidang kurikulum dan jenjang kelas-kelas sudah di atur sedemikian rupa secara terorganisir (sistem klasikal). Jamiah al-Khoiriyah mendirikan Sekolah Dasar pada tahun 1905, namun sekolah ini bukanlah merupakan skolah yang bersifat agama semata namun bersifat umum seperti halnya sekolah-sekolah lain. Di dalamnya diajarkan pula tata cara berhitung, sejarah (umumnya sejarah Islam) dan ilmu bumi sedangkan Bahasa Indonesia dan bahasa Melayu di pakai sebagai bahasa pengantar pada saat pengajaran dan bahasa Belanda (yang saat itu merupakan pelajaran wajib disetiap sekolah-sekolah belanda) tidak di ajarkan sama sekali, namun pelajaran bahasa Inggris di ambil sebagai gantinya dan di jadikan pelajaran wajib. Murid dari pada Jamiah ini pun terdiri dari orang-orang keturunan Arab atau pun anak-anak Islam dari Indonesia sendiri yang kebanyakan berasal dari Lampung.
Untuk memenuhi tenaga guru yang berkualitas, Jamiah al-Khoiroh mendatangkan guru-guru dari daerah lain bahkan dari luar negeri untuk mengajar di sekolah tersebut. Pada tahun 1907 Haji muhamamd Mansyur seorang guru dari pada diminta untuk mengajar karena kecakapannya dalam bidang agama dan juga kemampuannya dalam bahasa Melayu.
Tercatat ada beberapa guru yang didatangkan dari luar negeri seperti: al-Hasyimi dari Tunis yang didatangkan pada tahun 1911 yang disamping mengajar juga mengenalkan gerakan kepanduan dan olah raga di lingkungan Jamiat al-Khoiroh. Karena itu beliau di kenal sebagai orang pertama yang mendirikan gerakan kepanduan dikalangan oarnag-orang Islam di indonesaia. Pada bulan Oktober tiga orang guru dari Arab bergabung bersama Jamiah ini, mereka adalah syekh Ahmad Surkati dari Sudan, syekh Muhammad Thaib dari Maroko dan syekh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah. Namun, syekh Thaib tidak lama tinggal di Indonesia dan pulang ke Maroko pada tahun 1913, sedangkan Syekh Hamid pindah ke Bogor pada sebuah sekolah yang bernama Jamiah al-Khoir juga.
Salah seorang guru yang paling terkenal adalaah syekh Ahmad Soekatti dari Sudan. Beliau tampil sebagai tokoh pemikiran-pemikiran baru dalam masyarakat Islam Indonesia. Salah satu pemikirannya adalah bahwa muslim itu adalah sama dan tidak ada perbedaan diantara orang muslim. Kedudukan, harta, pangkat tidak menjadi penyebab adanya diskriminasi dalam Islam.
Pemikiran ini sebenarnya muncul ketika terjadi pertikaian dikalangan masyarakat Arab yang berkaitan dengan hak istimewa dikalangan Sayyid (gelar yang disandang bagi orang yang memiliki garis keturunan dengan Nabi saw). Salah satu hal yang diperdebatkan adalah adanya larang bagi wanita sayyid untuk menikah dengan laki-laki non-sayyid. Dan jika bertemu dengan seorang sayyid maka orang yang berasal dari keturunan non-sayyid baik orang Arab maupun orang ‘Ajam, maka wajib mencium tangannya. Apa bila hal itu tidak dilakukna maka akan timbul pertikaian dikalangan Jamiat al-Khoirot.
Menyusul kemudian, pada Oktober 1913 empat orang guru sahabat-sahabat Surkati bergabung juga dengan Jamiah ini, yaitu Muhammad Noor (Abul Anwar) al-Anshari, Hasan Hamid al-Antasari, Ahmad al-Awif yang kemudian diperuntukkan bagi Jamaah Khair yang didirikan di Surabaya dan salah seorangnya adalah saudara kandung Surkati, yaitu Muhammad Abdul Fadal Ansari.
Walau hanya satu orang jebolan universitas al-Azhar Kairo Mesir Syaikh Muhammad Noor (tahun 1899-1906) yang juga pernah manjadi murid langsung Muhammad Abduh (revormer Mesir) namun para guru-guru tersebut telah mengenal karya-karya Muhammad Abduh ketika mereka berada dinegara-negara asal mereka dan mereka menyatakan sebagai pengikut-pengikut setia sang revormer Mesir itu.
Hal ini sangat nampak sekali pada materi pelajaran yang mereka fokuskan yaitu pelajaran bahasa Arab (Abduh memang mementingkan pembelajran bahasa Arab guna memahami ajaran-ajaran Islam) dalam usaha pengembangan jalan pikiran murid yakni dengan cara menekan pengertian dan daya kritik, bukan hafalan, juga dalam mata pelajaran lainnya seperti sejarah, ilmu bumi disamping pelajaran-pelajaran agama pemakaian buku-buku bergambar didalamnya, terutama gambar manusia yang menurut sebagian golongan dilarang.
Disamping membawa pembaharuan dalam sistem pembelajaran (yang pertama memasukkan pengetahuan umum dan bangsa asing kedalam daftar pengajarannya/April 1910), mereka juga memperjuangkan equalitas hak-hak antara muslim dan pemikiran kepada al-Quran dan hadis Nabi saw. Hal-hal inilah yang kemudian membuat mereka terasing dari kalangan sayyid dari Jamiah Al-Khoiroh yang melihat ide persamaan hak ini akan mengancam kedudukan para sayyid yang lebih tingi dibandingkan dengan orang Islam di Jawa. Hal ini kemudian berlanjut hingga timbul perpecahan dikalangan Jamiah Khoirot hingga akhirnya melahirkan organisasi baru yakni al-Irsyad yang diprakarsai oleh Syekh Ahmad Surkati dengan kepergian beliau ke Jakarta dan mendirikan gerakan agama sendiri yang bernama al-Ishlah wal Irsyad -yang saat ini di kenal dengan al-Irsyad- dengan haluan mengadakan pembaharuan dalam Islam (reformisme). .
Hal penting yang patut di catat bahwa Jamiyah al-Khoiriah merupakan organisasi modern pertama yang memiliki AD/ART daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat secara berkala, memiliki buku-buku pandudan bergambar, kelas-kelas, pemakaian bangku, papan tulis dan sebagainya. Dengan demikian, Jamiah Al-khoiroh dapat dikatakan sebagai pelopor lembaga pendidikan modern di tanah air Indonesia. Ia juga merupakan organisasi pertama yang bukan didirikan oleh Belanda yang seluruh sistem pembelajarannya berdasarkan sistem Barat. Dalam Jamiah inilah, sosok Ahmad Dahlan dan HOS. Cokrominoto di didik dan di gembleng sedemikian rupa hingga mampu mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah. Dengan begitu, organisasi ini memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah.
Meski tujuan awalnya hanya berkecimpung dalam bidang pendidikan, namun usaha Jamiat Khoir kemudian meluas sampai pada penyiaran Islam, perpustakaan dan surat kabara (26 Januari 1913) dan mendirikan percetakan bahasa Arab Setia Usaha (atas bantuan S. Muhammad B. Saleh B. Agil dan S. Abdullah B. Alawi Alatas) yang dipimpin oleh Umar Said Tjokroaminoto yang kemudian menerbitkan surat kabar harian Utusan Hindia (31 Maret 1913).
Terlibatnya orang-orang Jamiat Khoir dalam kancang perpolitikan baik dalam maupun luar negeri, misalnya dalam hubungan politik Jerman dalam perang dunia yang pertama 1914 dan hubungan antara S. Muhammad al-Hasyami dengan gerakan Islam di Turki jauh, menyebabkan perkumpulan ini sangat di curigai oleh pemerintahan penjajah Belanda yang saat itu berkuasa.



DAFTAR PUSTAKA:

Dra. Hj. Enung K. Rukiati & Dra. Fenti Hikmawati. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung. Pustaka Setia. 2008.
Dra. Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Bumi Aksara. Jakarta. 2008
Dra. Hanun Asrohah, M.Ag. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta. PT. Logos Wacana Ilmu. 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar