Senin, 11 Maret 2013

Menyoal Tren Pluralisme Di Barat

Paham pluralisme agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda namun ujung-ujungnya sama. Yaitu aliran transenden agama-agama (transcendent unity of religion) dan teologi global (global theology). Yang pertama lebih merupakan sikap protes terhadap arus globalisasi, sedang yang kedua adalah kepanjangan tangan bahkan pendukung gerakan globalisasi. Theology global yang dicetuskan oleh Jhon Hick dan di juluki oleh W.C Smith sebagai teologi dunia (world theology).
Pendekaan yang digunakan oleh Jhon Hick (theology global) terhadap agama-agama adalah pendekatan sosiologis, kultural dan ideologis. Bersifat sosiologis dan kultural karena agama-agama yang ada di dunia harulah disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat modern yang plural atau majmuk. Ideologis, sebab ia telah menjadi program gerakan globalisasi yang jelas-jelas memasarkan ideologi Barat. Akibatnya, menurut Malcom Walter globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme malah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber-sumber kekuatan lainnya. Karena kenyataannya, gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan permisif terhadap ideologi dan nilai-nilai kebudayaan Barat seperti demokrasi, gender, Hak Asasi Manusia, liberalisme, sekularisme.
Sekilas kalau kita perhatikan tuntutan globalisasi ini sangat menarik, karena bagaimana setiap agama dituntut untuk bisa menjawab tantangan zaman sesuai dengan konteks sosio-kultural yang ada. Tapi yang jadi masalah adalah apakah paham pluralisme agama dengan doktrin theology global itu mampu membuat agama-agama bersifat kontekstual. Dan apakah untuk menjadi kontekstual seuatu agama harus meningalkan doktrin ajaran agamanya. Bagaimana pula dengan doktrin yang bersifat permanen (tsawabit) dan sekaligus eksklusif.
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tidak pernah terbesit dalam benak para orientalis atau paham pluralisme agama. Mungkin juga tidak perlu. Sebab, sejarah panjang pengalaman manusia dimana manusia barat telah sampai kepada sutau tahap dimana tidak ada lagi hal-hal permanen dan berubah dalam agama yang perlu dipertahankan dan dibedakan. Faktanya memang teologi Kristen tidak mampu mempertahankan itu dari terpaan angin kencang modernisme dan globalisasi yang diwarnai oleh rasionalisme, relativisme, sekularisme, liberalisme dll.
Ketika abad pertengahan berakhir dan disusul dengan reformasi dan renaisence (kelahiran lkembali), manusia barat telah cenderung untuk menjadi pluralis. Akarnya bisa detelusuri dari adanya tuntutan kaum protestan untuk memberi ruang kepada kebebasan individu. Klaim kebenaran diantara sekte-sekte agama tidak bisa dihindari. Persengketaan antara sekte yang berjalan sekitar 30 tahun di Jerman itu di selesaikan dengan menghilangkan sepremasi antara sekte yang satu dengan yang lainnya.
Memang ketika terjadi persengketaan sekte dalam agama Kristen yang muncul adalah pertanyaan: apakah agama Kristen itu inklusif, eksklusif atau pluralis ? Karena ketidakjelasan teologisnya, maka bisa ketiga-tiganya. Namun masalahnya suatu agama tidak dapat eksklusif dan pluralis sekaligus. Disitu sebenarnya Kristen menghadapi problem teologis yang serius.
Eksklusifisme suatu agama ini pun telah mendorong para filosof untuk berfikir keras. Masa lalu barat yang traumatik dengan hegemoni kekuasaan gereja dan otoritas mutlak para teolog telah mendorong para filosof untuk berfikir bebas secara ekstrem. Mereka lalu memarginalkan agama, mengangkat doktrin nihilisme nilai, mendobrak teologi dan bahkan “memasung kekuasaan tuhan”. Agama di barat akhirya menjadi objek kajian para filosof yang tidak memiliki otoritas tentang itu. Rasionalisasi agama artinya agama harus tunduk kapada otoritas dan pemahaman rasio manusia. Dari kondisi seperti itu maka bola diskursus agama berada ditangan para filosof yang sebenarnya adalah aktifis dan mantan aktifis gerakan protestan liberal. Di barat sudah bukan hal aneh lagi bahwa agama menjadi bulan-bulanan para filosof.
Namun karena teologi telah dianggap tidak relevan lagi, maka para filosof itu mencari rumah baru untuk memberi tempat bagi diskusi-diskusi mereka. Agama, rumah baru itu kini menjadi sebuah disiplin ilmu baru. Namun disiplin ilmu itu tidak disebut teologi tapi filsafat agama yang akarnya pada comparative religion. Disini seakan-akan pemahaman agama babas dari paham suatu agama lain. Dari diskursus tentang agama-agama inilah muncul teori dan paham pluralism agama. Perlu sekali diketahui bahwa dalam Islam tidak ada ilmu yang disebut dengan falsafah agama. Wacana pluralism agama yang kini telah menjadi paham atau doktrin masuk dalam diskusi-diskusi tentang toleransi beragama, kerukunan umat beragama, inter-faith dialogue dan semacamnya. Bahkan pasca kejadian 11 September 2001, pluralisme agama nampak seperti diramu dengan doktrin liberalisme agar menjadi pain-killer bagi fenomena terorisme dan ekstrimisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar